Jumat, 28 Oktober 2011

sains dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia sekaligus merupakan sarana bagi kesempurnaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya karena Allah telah mengaruniakan anugerah kenikmatan kepada manusia yang bersifat saling melengkapi yaitu anugerah agama dan kenikmatan sains teknologi.
Penerapan sains dalam dunia modern telah menghasilkan banyak teknologi yang membuat kehidupan manusia lebih baik, lebih nyaman dan aman. Oleh karena itu, sain merupakan sebuah karunia dari Allah SWT. [1]  
Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih maju lagi. Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa dasar-dasar filosofis untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali dalam Al-Quran sebab kitab suci ini banyak mengupas keterangan-keterangan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 80 yang artinya “Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu guna memelihara diri dalam peperanganmu.”
Dari keterangan itu jelas sekali bahwa manusia dituntut untuk berbuat sesuatu dengan sarana teknologi. Sehingga tidak mengherankan jika abad ke-7 M telah banyak lahir pemikir Islam yang tangguh produktif dan inofatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kepeloporan dan keunggulan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad itu. Tetapi sangat disayangkan bahwa kemajuan-kemajuan itu tidak sempat ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya sehingga tanpa sadar umat Islam akhirnya melepaskan kepeloporannya. Lalu bangsa Barat dengan mudah mengambil dan menransfer ilmu dan teknologi yang dimiliki dunia Islam dan dengan mudah pula mereka membuat licik yaitu membelenggu para pemikir Islam sehingga sampai saat ini bangsa Baratlah yang menjadi pelopor dan pengendali ilmu pengetahuan dan teknologi.  
Peran religiusitas sangat berarti dalam mencapai kesejahteraan kehidupan manusia, karena dipandang sebagai faktor penting bagi penataan kehidupan manusia serta segala aktivitas yang merujuk pada penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semua kebenaran dan pengetahuan yang diperoleh lewat sains, seluruhnya telah Allah tunjukkan dalam Al-Qur’an bahkan sebelum fakta sains itu ditemukan. Keberadaannya menunjukkan bahwa penyelidikan dan penguasaan manusia tentang sains merupakan bagian dari berkah Allah SWT.
Dengan demikian sains harus memiliki peran dan fungsi spiritual di samping fungsi intelektualnya dalam membantu memenuhi kebutuhan manusia. Diantara kebutuhan tersebut, yang terpenting adalah memperoleh kepastian dalam pengetahuan tentang Allah SWT.
Oleh karena itu, hendaknya manusia meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna dan Al-Qur’an melengkapi kesempurnaan itu dalam kandungan ayat-ayat-Nya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Dalam makalah ini penulis mencoba merumuskan masalah tentang islam dan sains, yaitu sebagai berikut:
B.       Rumusan Masalah
Dari permasalahan di atas, pemakalah merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Pandangan Islam terhadap Sains?
2.      Bagaimana pendekatan Al-Quran terhadap Sains?
3.      Bagaimana upaya “Islamisasi Sains”?
C.      Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui Bagaimana Pandangan Islam terhadap Sains?
2.      Untuk mengetahui Bagaimana pendekatan Al-Quran terhadap Sains?
3.      Untuk mengetahui Bagaimana upaya “Islamisasi Sains”?

BAB II
SAINS DALAM ISLAM

A.      Pandangan Islam Terhadap Sains
1.      Pengertian Sains
Kata sains berasal dari kata science yang berarti pengetahuan. Kata sains berasal dari bahasa latin yaitu iscire  yang berarti tahu atau mengetahui. Sedangkan dalam bahasa arab disebut dengan al`ilm  yang berarti tahu, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan ilmu atau ilmu pengetahuan.[2]
Berdasarkan Webster New Collegiate Dictionary definisi dari sains adalah “Pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang terjadi di alam .[3]
Pengertian sains juga merujuk kepada susunan pengetahuan yang orang dapatkan melalui metode tersebut atau bahasa yang lebih sederhana, sains adalah cara ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode tertentu.
Sains secara epistimologinya berbeda dengan ilmu karena sains hanya digunakan oleh Barat yang berupa fisik saja seperti kelalaman/fisika. Sedangkan ilmu yang membahas fisik dan non fisik seperti metafisika, seperti pendapat Mulyadhi guru besar Filsafat istilah ilmu dalam spistimologi Islam mempunyai kemiripan dengan istila science dalam epistimologi Barat. Sebagaimana sains dalam epistimology Barat dibedakan dengan knowledge dan ilmu dalam epistimologi Islam dibedakan dengan opini (ra`y).
Pengertian ilmu sebenarnya tidak berbeda dengan sains hanya saja sains hanya dibatasi dalam bidang fisik dan indrawi, sedangkan ilmu melampawinya pada bidang-bidang non fisik seperti metafisika. [4] 
2.      Pandangan Islam terhadap Sains
Masalah ilmu apa saja yang dianjurkan oleh Islam, menjadi pokok penting yang mendasar sejak hari-hari pertama Islam. Apakah ada ilmu khusus yang harus dicari?. Para ulama besar Islam hanya memasukkan cabang ilmu yang secara langsung berhubungan dengan masalah agama. Sedangkan masalah ilmu-ilmu lain mereka menyerahkannya kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan mereka. Hadist “Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim” melahirkan berbagai pembahasan, seperti ilmu mana yang harus dipelajari dan dicari oleh orang muslim.
Imam Al-Ghazali lebih memandang bahwa ilmu yang wajib dipelajari atau dituntut sebatas pada pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat saja. Sebagai contoh, seorang pedagang untuk menghindari terjerumus dalam riba, maka dia harus mempelajari ilmu berdagang sehingga ia dapat menjauhinya.
Selanjutnya Al-Ghazali, mengklasifikasikan ilmu kedalam dua kategori, yaitu “ilmu agama” dan ilmu “non agama”. Ilmu agama yaitu ilmu yang diajarkan lewat ajaran-ajaran nabi dan wahyu, sedangkan ilmu ilmu non agama beliau mengklasifikasikannya dengan tiga kategori, yaitu mahmud, mubah dan madzmum. Beliau memasukkan hukum mubah terhadap sejarah; ilmu sihir termasuk kategori ilmu madzmum; ilmu-ilmu terpuji yang penting didalam kehidupan sehari-hari termasuk fardu kifayah, seperti contoh ilmu obat-obatan, matematika dan ilmu lain yang menunjang kemaslahatan masyarakat termasuk fardu kifayah.[5]
Mulla Muhsin Faiydh Al-Kasyani mengemukakan: Mempelajari hukum Islam sesuai dengan kebutuhannya sendiri hukumnya wajib `ainy bagi setiap orang Islam. Lebih lanjut, belajar fiqih untuk memenuhi kebutuhan orang lain adalah wajib kifayah  baginya.
Shadr al-Din Syirazi meragukan pendapat Al-Ghazali dan Alamah Kasyani[6] terhadap kategori yang termasuk fardu kifayah, beliau mengemukakan:
Ø Tidak sependapat bahwa klasifikasi ilmu kepada ilmu agama dan ilmu non agama, menyebabkan miskosepsi bahwa ilmu non agam itu terpisah dari Islam, dan tampak tidak sesuai dengan keuniversalan agama Islam yang menyatakan dapat merahmati kebahagiaan penuh kepada kemanusiaan. Dalam Al-Quran dan hadis, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam  maknanya yang umum, seperti dalam Al-Quran:
Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"(Al-Baqorah: 31)
Ø Beberapa ayat  Quran dan hadits secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu tiu tidak hanya belajar prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja, sebagai contoh dalam surat An-Naml ayat 15-16:
ôs)s9ur $oY÷s?#uä yŠ¼ãr#yŠ z`»yJøn=ßur $VJù=Ïã ( Ÿw$s%ur ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# $uZn=žÒsù 4n?tã 9ŽÏWx. ô`ÏiB ÍnÏŠ$t7Ïã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÎÈ y^Íurur ß`»yJøŠn=ß yŠ¼ãr#yŠ ( tA$s%ur $ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $oYôJÏk=ãæ t,ÏÜZtB ÎŽö©Ü9$# $uZÏ?ré&ur `ÏB Èe@ä. >äóÓx« ( ¨bÎ) #x»yd uqçlm; ã@ôÒxÿø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÏÈ
Dan Sesungguhnya kami Telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman". Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata"(An-Naml : 15-16)[7]
Dalam hadits disebutkan, “Carilah ilmu itu walaupun ke negri Cina, karena menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”
Ø Alasan lain untuk mempercayai bahwa ilmu terpuji tidak hanya sebatas pada studi-studi teologis dan hukum-hukum agama saja yang berhubungan dengan halal haram saja. Hal ini dikukuhkan oleh sejarawan-sejarawan pada masa kini bahwa selama beberapa abad para ulama-ulama Islam merupakan pembawa obor pengetahuan, karya-karya mereka dipakai sebagai buku-buku teks di Eropa selama berabad-abad.
Ø Memilah-milah kelompok ilmu dengan alasan ilmu itu tidak memiliki kesamaan nilai dengan studi-studi agama, tidaklah benar. Karena bidang ilmu apapun yang konsusif terhadap pemeliharan dan kekuatas vitalisas masyarakat Islam, ilmu tersebut wajib kifayah.[8]

3.      Kriteria ilmu yang berguna
Sejauh ini, kita telah membuktikan bahwa perintah Al-Quran dan Sunnah mengenai menuntut ilmu tidak hanya sebatas ajaran syariat tertentu, tetapi juga mencakup setiap ilmu yang berguna bagi manusia.
Jelas bahwa menyembah Allah tidak hanya shalat, haji dan sebagainya. Nyatanya, suatu gerakan menuju taqarrub (kedekatan) kepada Allah SWT selalu dianggap sebagai ibadah. Salah satu cara untuk menolong manusia dalam perjalanannya menuju Allah adalah ilmu, dan hanya dalam hal inilah ilmu dpandang bernilai.
Ø  Dia dapat meningkatkan pengetahuannya akan Allah
Ø  Dia dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuannya
Ø  Dia dapat membimbing orang lain
Ø  Dapat memecahkan berbagai problem dalam masyarakat.
Kita dapat menyimpulkan bahwa kata “ilmu” sebagaimana di dalam Al-Quran dan Sunnah nampak di dalam makna umumnya ketimbang merujuk secara eksplisit kepada studi-studi agama. Di dalam Islam batasan mencari ilmu hanyalah bahwa orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna. Islam hanya melarang menuntut ilmu yang mudharatnya lebih besar dari manfaatnya, seperti sihir, judi dan sebagainya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu theologi maupun ilmu kealaman merupakan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, selama memerankan peranan ini, maka ilmu dianggap suci.

B.       Pendekatan Al-Quran terhadap Sains
Sikap yang paling umum di dunia Islam adalah melihatnya sebagai suatu kajian yang objektif terhadap alam dunia, yaitu sebagai suatu cara untuk menguraikan ayat-ayat Tuhan tentang alam semesta. [9]
Sains dan ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu isi pokok kandungan kitab suci al-Qur’an. Bahkan kata ‘ilm itu sendiri disebut dalam al-Qur’an sebanyak 105 kali, tetapi dengan kata jadiannya ia disebut lebih dari 744 kali. Sains merupakan salah satu kebutuhan agama Islam, betapa tidak setiap kali umat Islam ingin melakasanakan ibadah selalu memerlukan penentuan waktu dan tempat yang tepat, umpamanya melaksanakan shalat, menentukan awal bulan Ramadhan, pelaksanaan haji semuanya punya waktu-waktu tertentu dan untuk mentukan waktu yang tepat diperlukan ilmu astronomi. Maka dalam Islam pada abad pertengahan dikenal istilah “ sains mengenai waktu-waktu tertentu”.
Banyak lagi ajaran agama yang pelaksanaannya sangat terkait erat dengan sains dan teknelogi, seperti untuk menunaikan ibadah haji, bedakwah menyebarkan agama Islam diperlukan kendraan sebagai alat transportasi. Allah telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an, manusia hanya tinggal menggali, mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada, antara lain sebagaimana terdapat dalam Q.S Ar-Rahman:
Hai jama''ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (Q.S Ar-Rahman: 33).
Ayat di atas pada masa empat belas abad yang silam telah memberikan isyarat secara ilmiyah kepada bangsa Jin dan Manusia, bahwasanya mereka telah di persilakan oleh Allah untuk mejelajah di angkasa luar asalkan saja mereka punya kemampuan dan kekuatan (sulthan); kekuatan yang dimaksud di sisni sebagaimana di tafsirkan para ulama adalah ilmu pengetahuan atau sains dan teknelogi, dan hal ini telah terbukti di era mederen sekarang ini, dengan di temukannya alat transportasi yang mampu menmbus angksa luar bangsa-bangsa yang telah mencapai kemajuan dalam bidang sains dan teknelogi telah berulang kali melakukan pendaratan di Bulan, pelanet Mars, Juipeter dan pelanet-pelanet lainnya.[10]
Sains dan teknelogi baik itu yang ditemukan oleh ilmuan muslim maupun oleh ilmuan barat pada masa dulu, sekarang dan yang akan datang, itu semua sebagai bukti kebenaran informasi yang terkandung di dalam al-qur’an, karena jauh sebelum peristiwa penemuan-penemuan itu terjadi al-Qur’an telah memberikan isyarat-isyarat tentang hal itu, dan ini termasuk bagian dari kemukjizatan al-Qur’an, dimana kebenaran yang terkandung didalamnya selalu terbuka untuk dikaji, didiskusikan, diteliti, diuji dan dibuktikan secara ilmiyah oleh siapa pun.
a.         Tujuan pemahaman alam
Alam berarti dunia fisik, yaitu kita berhubungan dengannya lewat indera kita. Dalam al-Quran terdapat lebih dari 750 ayat yang kepada fenomena alam. Hampir seluruh ayat ini memerintahkan kepada kita untuk mempelajari kitab yang berhubungan dengan  hal-hal penciptaan dan merenungkannya. Para tokoh Islam terkemuka mengatakan bahwa al-Quran bukanlah sebuah buku ilmu kealaman, tetapi kitab petunjuk dan pencerahan.[11] Rujukan Al-Quran terhadap fenomena alam dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia pada Pencipta Alam yang Maha Mulia.

ô`ÏBur ¾ÏmÏG»tƒ#uä ß,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ß#»n=ÏG÷z$#ur öNà6ÏGoYÅ¡ø9r& ö/ä3ÏRºuqø9r&ur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy tûüÏJÎ=»yèù=Ïj9 ÇËËÈ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui. (Ar-Rum: 22)[12]
Dalam prespektif Al-Quran, memahami alam bukanlah usaha yang bermakna, kecuali jika ia membantu kita memahami Penciptaan Allah SWT dan bisa mendekatkan diri kepada-Nya. Memahami alam dapat mengembangkan wawasan manusia bagi pengenalan Allah SWT dan memungkinkannya untuk dapat lebih baik dalam memanfaatkan pemberian Allah SWT demi kebahagian dan kesejahteraannya.
                Islam melalui Al-Qur’an telah memotivasi seluruh umat Islam untuk berfikir dan merenungkan alam semesta ini untuk mengenal kebesaran Tuhan,sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Baqarah ayat 164 yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu kami  hidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan,dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sesungguhnya terdapat tanda-tanda (ke-Esaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.[13]
Disamping ayat-ayat diatas masih banyak lagi perintah Tuhan untuk merenungkan alam semesta ini, sehingga lahirlah ilmuwan-imuwan muslim saat itu yang telah meletakan dasar-dasar perkembangan sains saat ini.
b.        Masalah-masalah utama dalam memahami alam
Dalam hubungan dengan fenomena alam, ada beberapa masalah yang yang ditunjukkan di dalam Al-Quran, diantaranya:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghasyiah: 17-20)
Dan Allah, dialah yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan, Maka kami halau awan itu kesuatu negeri yang mati lalu kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu”. (Al-Fathir: 9)[14]

Penemuan Aturan, Koordinasi, dan tujuan alam
·         Allah-Menciptakan Langit dan bumi tidaklah sia-sia, melainkan memiliki tujuan tertentu
“Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main” (Al-Anbiyaa` : 16)
·         Proses kejadian alam terjadi mengikuti suatu jalur alami dengan priode tertentu.
“Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” (Ar-Ra`d)
·         Keseluruhan proses penciptaan dan perjalanan kejadian-kejadian di dalam alam mengikuti suatu perhitungan dan ukuran yang sesuai. Seperti peredaran bulan, matahari, dan seluruh isi alam telah diukur oleh Allah SWT.[15]
Maka dengan adanya kejadian ini maka hukum alam menjadi bermakna. Dari ayat-ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penemuan aturan dan koordinasi  di dalam alam (yaitu hukum alam) dan kepastian dalam karya Tuhan matlah penting dalam memahami alam.
c.         Cara-cara memahami alam
Dalam Surat An-Nahl ayat 78 disebutkan:

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.[16]
Ayat ini mengatakan bahwa pemahaman dapat diraih lewat mata, telinga dan intelek. Diantara indra-indra eksternal hanya penglihatan dan pendengaran yang disebut, karena keduanya alat utama untuk membantu seseorang untuk meraih pengetahuan akan dunia fisik. Mahdi Guzani mengatakan bahwa alat-alat yang dapat digunakan untuk memahami alam adalah:
1.      Indera-indera eksternal, dengan indera ini pengamatan dapat dilakukan
2.      Intelek yang tak terkotori oleh sifat buruk yang menguasai
3.      Wahyu dan inspirasi.[17]
d.        Tingkatan-tingkatan dalam memahami alam
Dari pandangan Al-Quran kita telah melihat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memahami alam melalui indera-indera eksternal dan intelek, manusia harusnya manusia lebih dekat kepada tuhan dengan memahami tanda-tanda ilahi. Beberapa contoh, misalnya:
o   Para perenung terhadap kekuasaan Allah akan penciptaannya
o   Orang yang arif
o   Orang-orang yang memahami (ulul albab)
o   Orang-orang beriman
o   Orang-orang bertaqwa
o   Orang yang berilmu (`alim)
o   Orang yang ingat atau sadar
o   Orang yang mendengarkan kebenaran firman Tuhan
o   Orang-orang yang yakin
o   Orang-orang yang menguji kebenaran, memiliki wawasan, dan memahami
e.         Alangan-alangan pengetahuan
Ada beberapa faktor yang mengalangi kita dari pengamatan yang benar menurut Al-Quran, yaitu:
o   Ketiadaan iman
o   Adanya faktor yang menyebabkan penyimpangan akal, yaitu mengikuti hawa nafsu serta cinta atu benci buta juga memiliki prasangka tak beralasan. Hal ini membuat hati seseorang menjadi buta terhadap hal-hal yang dibencinya.
o   Takabbur
o   Tergesa-gesa dalam memutuskan. Hal ini sering menjadi sebab ketidakberhati-hatian dan kesalahan dalam memahami kebenaran.
o   Kebodohan. Sebagian besar kesalahan dalam melakukan penilaian (apakah ilmiah atau non ilmiah) berasal dari ketidaktahuan masalah dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentangnya.
o   Ketidakpedulian dan tidak menerima kebenaran. 
f.         Dasar-dasar petunjuk dalam memahami alam
o   Iman dalam prinsip kesatuan Ilahi (tauhid)
Tuhan adalah satu-satunya Pencipta dan Penguasa Alam Semesta. Segala sesuatu berasal dari-Nya dan berakhir pada-Nya.
o   Keyakinan terhadap realitas dunia kesternal
Keyakinan terhadap dunia eksternal merupakan basis seluruh penelitian dan ilmu empirik, dan tanpa itu suatu riset ilmiah hanya menjadi sekedar latihan mental.
o   Keyakinan terhadap realitas superfisik dan keterbatasan pengetahuan mansia.
-          Adanya banyak hal yang kita tidak bisa raih lewat indera
-          Keterbatasan manusia
-          Kita harus percaya kepada yang gaib, yaitu realitas-realitas supra natural.[18]
C.      Islamisasi Sains
Istilah “Islamisasi sains” sudah pernah nyaring bergema di Indonesia pada era 1980-an. Tapi, kemudian redup, sejalan dengan ketidakjelasan konsep dan pengembangannya. Bahkan, sering timbul kesalahpahaman.
Secara umum, ada lima arus utama wacana Islamisasi sains, yaitu:
Pertama, Islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik, yaitu pandangan yang menganggap ilmu atau sains hanya sebagai alat (instrumen). Artinya, sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri selama ia bermanfaat bagi pemakainya.
Pendekatan ini muncul dengan asumsi bahwa Barat maju dan berhasil menguasai dunia Islam dengan kekuatan sains dan teknologinya. Karena itu, untuk mengimbangi Barat, kaum Muslim harus juga menguasai sains dan teknologi. Jadi, Islamisasi di sini adalah bagaimana umat Islam menguasai kemajuan yang telah dikuasai Barat.
Kedua, Islamisasi sains yang paling menarik bagi sebagian ilmuwan dan kebanyakan kalangan awam adalah konsep justifikasi. Maksud justifikasi adalah penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat Al-Quran maupun Al-Hadits. Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran al-Qur’an dengan fakta-fakta objektif dalam sains modern.
Tokoh paling populer dalam hal ini adalah Maurice Bucaille. Menurut dokter asal Perancis ini, penemuan sains modern sesuai dengan al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an, kitab yang tertulis 14 abad yang lalu, adalah wahyu Tuhan, bukan karangan Muhammad. Ilmuwan lain yang mengembangkan Islamisasi dengan pendekatan justifikasi ini adalah Harun Yahya, Zaghlul An-Najjar, Afzalur Rahman dll. Namun, konsep ini menuai banyak kritik, misalnya dari Ziauddin Sardar yang mengatakan bahwa legitimasi kepada al-Quran dalam kerangka sains modern tidak diperlukan oleh Kitab suci.
Meskipun bukan termasuk dalam kategori Islamisasi sains yang hakiki, pendekatan konsep ini sangat efektif mudah diterima oleh banyak Muslim serta meningkatkan kebanggaan mereka terhadap Islam. Namun demikian proses tersebut tidak cukup dan harus dikembangkan ke dalam konsep yang lebih mendasar dan menyentuh akar masalah kemunduran umat.
Ketiga, konsep Islamisasi sains berikutnya menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Baginya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi. Nasr mengritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi dianggap sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri. Ia bagaikan mesin jam yang bekerja sendiri.
Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses islamisasi sains yang lain dalam hal mengkritisi sains sekular modern. Namun perbedaannya cukup menyolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science) dibangun di atas konsep semua agama sama pada level esoteris (batin). Padahal Islamisasi sains seharusnya dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan keunikan Islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama.
Sedangkan islamisasi sains menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama yang benar. Oleh karena itu, sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai Islam.
Keempat, Islamisasi sains melalui proses integrasi, yaitu mengintegrasikan sains Barat dengan ilmu-ilmu Islam. Ide ini dikemukakan oleh Ismail Al-Faruqi. Menurutnya, akar dari kemunduran umat Islam di berbagai dimensi karena dualisme sistem pendidikan. Di satu sisi, sistem pendidikan Islam mengalami penyempitan makna dalam berbagai dimensi, sedangkan di sisi yang lain, pendidikan sekular sangat mewarnai pemikiran kaum Muslimin. Mengatasi dualisme sistem pendidikan ini merupakan tugas terbesar kaum Muslimin pada abad ke-15 H.
Al-Faruqi menyimpulkan solusi dualisme dalam pendidikan dengan islamisasi ilmu sains. Sistem pendidikan harus dibenahi dan dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan jiwa Islam dan berfungsi sebagai bagian yang integral dari paradigmanya. Al-Faruqi menjelaskan pengertian Islamisasi sains sebagai usaha yaitu memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita Islam.
Kelima, konsep Islamisasi sains yang paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan sains adalah Islamisasi yang berlandaskan paradigma Islam. Ide ini yang disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslim adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Oleh karena itu islamisasi sains dimulai dengan membongkar sumber kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti.
            Itu sebabnya al-Attas mengartikan Islamisasi sebagai, ”Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekular terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya...Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya...” (Islam dan Sekularisme, 2010).
Oleh karena dalam hal ini ada dua cara metode Islamisasi yang saling berhubungan dan sesuai urutan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.

Dengan demikian Islamisasi sains akan membuat umat Islam terbebaskan dari belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah wujudnya keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya (fitrah). Islamisasi melindungi umat Islam dari sains yang menimbulkan kekeliruan dan mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya.  Oleh karena itu islamisasi sains tidak bisa tercapai hanya dengan menempeli (melabelisasi) sains dengan prinsip Islam. Hal ini hanya akan memperburuk keadaan selama "virus"nya masih berada dalam tubuh sains itu sendiri. [19]
Jadi, Islamisasi sains tidak sesederhana, misalnya, tidak sekedar menyalakan lampu dengan terlebih dahulu membaca basmalah. Islamisasi sains adalah sebuah konsep dasar yang berkaitan dengan worldview seorang muslim untuk mengembalikan Islam menuju peradaban dunia yang berjaya. (***)













BAB III
KESIMPULAN

Sains merupakan “Pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang terjadi di alam.
Pandangan Islam terhadap Sains
Beberapa ayat  Quran dan hadits secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya belajar prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Alasan lain untuk mempercayai bahwa ilmu terpuji tidak hanya sebatas pada studi-studi teologis dan hukum-hukum agama saja yang berhubungan dengan halal haram saja. Memilah-milah kelompok ilmu dengan alasan ilmu itu tidak memiliki kesamaan nilai dengan studi-studi agama, tidaklah benar. Karena bidang ilmu apapun yang konsusif terhadap pemeliharan dan kekuatas vitalisas masyarakat Islam, ilmu tersebut wajib kifayah
Kriteria ilmu yang berguna
Yaitu dia dapat meningkatkan pengetahuannya akan Allah, dia dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuannya, dia dapat membimbing orang lain, dapat memecahkan berbagai problem dalam masyarakat.
Cara-cara memahami alam
Alat-alat yang dapat digunakan untuk memahami alam adalah:
1.      Indera-indera eksternal, dengan indera ini pengamatan dapat dilakukan
2.      Intelek yang tak terkotori oleh sifat buruk yang menguasai
3.      Wahyu dan inspirasi.


DAFTAR PUSTAKA



Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebagai Upaya dalam Meislamkan Sains Barat Modern, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010
Departemen Agama Ri, Alhidayah Al-Quran Tafsir Per Kata, Jakarta: Kalim, 2010
Mahdi Ghuzani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran ,Bandung: Mizan, 1988
Tim, Tuhan, Alam Manusia Prespektif Sains dan Agama Mizan: Bandung,
2006
Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, Mizan : Bandung, 2005

http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:lima-konsep-Islamisasi-sains&catid=22:sains-islam&Itemid=21 diakses pada tanggal 20 Oktober 2011



[1] Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, (Bandung: Mizan), Hal. 9  
[2] Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebagai Upaya dalam Meislamkan Sains Barat Modern  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar) hal. 39
[4] Budi Handrianto, op.cit, hal. 51-52
[5] Mahdi Ghuzani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran (Bandung: Mizan 1988). Hal. 41
[6] Ibid, hal. 44
[7] Departemen Agama Ri, Alhidayah Al-quran Tafsir Per Kata (Jakarta: Kalim) Hal.389
[8] Mahdi Gulzani, Op.cit, Hal. 44-47
[9] Tim, Tuhan, Alam Manusia Prespektif Sains dan Agama (Bandung : Mizan), Hal. 75
[11] Op.cit, Hal. 78
[12] Departemen Agama, Op.cit, hal. 404
[13] Mahdi Gulzani, Op.cit, hal. 78
[14] Ibid, hal. 83
[15] Ibid.  Hal. 81-83
[16] Departemen Agama, Loc.Cit, Hal. 286
[17] Mahdi Gusyani, Op.cit. Hal 84
[18] Ibid, hal. 119-125
[19]http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=167:lima-konsep-Islamisasi-sains&catid=22:sains-islam&Itemid=21 diakses pada tanggal 20 Oktober 2011